Sabtu, 04 Juni 2011

Blok Nervus Glossopharyngeal Sebagai Pereda Nyeri Pasca Tonsilektomi Pada Anak-anak : Analisa Retrospektif dan Kejadian Kasus Obstruksi Jalan Napas Bagian Atas


J.D. Bean-Lijewski, MD, PhD, PAAP, DABA

Department of Anestesiology, Scott and White Clinic and Memorial Hospital, Scott, Sherwood and Brindley Foundation, Texas A&M University Health Science Center. College of Medicine, Temple, Texas

Teknik regional anestesi yang sebelumnya banyak digunakan pada tonsilektomi orang dewasa telah digunakan pula sebagai pereda nyeri pasca tonsilektomi pada anak-anak. Injeksi 3-10 ml 0,25-0,5 % bupivacaine pada bagian lateral faring terbukti memberikan efek analgesia pasca operasi yang baik. Namun, belum dapat dipastikan apakah teknik ini dapat menyebabkan komplikasi jalan napas. Sebuah penelitian yang membandingkan efektivitas analgesia dan komplikasi pasca operasi pada pasien yang menjalani tonsilektomi serta diberikan bupivacaine pada satu kelompok pasien dan placebo pada kelompok lainnya telah dilaksanakan setelah mendapat izin dari institusi dan informed consent, metode yang digunakan adalah analisa prospektif dan randomisasi. Namun, penelitian ini dihentikan setelah dua dari empat anak yang diberikan bupivacaine mengalami obstruksi jalan napas bagian atas yang cukup parah setelah diekstubasi. Kami mengambil kesimpulan bahwa jumlah dan konsentrasi bupivacaine yang diinjeksi cukup untuk memblok nervus vagus bagian proksimal, nervus rekuren laryngeal dan atau nervus hypoglossus. Blok pada saraf inilah yang menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas. Kesimpulannya, injeksi bilateral anestesi lokal pada tepi lateral faring dapat menimbulkan obstruksi jalan napas bagian atas dan kehilangan reflex fisiologis tubuh. ( Anesth Analog 1997;84:1232-8 )

            Sejak anestesi general digunakan pada operasi tonsilektomi di yahun 1848, kontroversi mengenai anasetesi optimal untuk tonsilektomi pada orang dewasa terus berlanjut.1 Pendukung penggunaan anestesi lokal menyatakan bahwa teknik anestesi lokal mengurangi insiden terjadinya perdarahan saat dan pasca operasi serta nyeri pos operasi dan mual.2,3  Lokal anestesi jarang digunakan pada pasiean anak-anak yang akan menjalani tonsilektomi, namun telah digunakan sebagai pereda nyeri pasca operasi. Jebeles et al.4 melaporkan bahwa terjadi peningkatan skor nyeri setelah infiltrasi bupivacaine 0,25%, 5ml per tonsil, sesaat sebelum operasi dimulai. Schoem et al.5 gagal membuktikan hal tersebut ketika menggunakan volume yang lebih kecil, 1.8ml per tonsil bupivacaine 5%. Orntoft et al.6 membandingkan efek pemberian anestesi sesaat sebelum oprasi dengan pasca operasi, namun gagal membuktikan apakah ada perbedaan pada skor nyeri ataupun volume analgesia yang dibutuhkan.
            Penelitian ini menggunakan infiltrasi superficial bupivacaine pada lapisan submukosa fossa tonsilaris. Ada beberapa teknik anestesi lokal untuk tonsilektomi. Beberapa peneliti menggunakan teknik injeksi anestesi hingga ke otot-otot konstriktor.7,8  Sebuah modifikasi dari teknik ini yang diberi nama glossopharyngeal nerve block (GNB) telah digunakan di institusi kami sebagai analgesi pasca operasi. Namun, masih diperdebatkan keamanan dan efektivitasnya. Studi retrospektif telah dilakukan, namun gagal menunjukkan hubungan GNB dengan insiden obstruksi jalan napas bagian atas. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian prospektif, secara acak, dan double blind pada 50 pasien anak-anak untuk menguji hipotesis bahwa GNB dapat mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan pasca operasi tanpa meningkatkan risiko terjadinya komplikasi jalan napas.
METODE
Analisa Retrospektif
            Seorang petugas catatan medis yang berpengalaman telah membantu menilai catatan medis semua pasien tonsilektomi dan tonsilektomi yang disertai adenoidektomi berdasarkan kriteria International Classification of Diseases-9-Clinical, yang diperbolehkan pulang dari rumah sakit antara tanggal 2 Januari 1988 hingga 16 Agustus 1991. Data yang diperoleh adalah riwayat obstruksi sleep apneu, umur, berat badan, jenis kelamin, dokter bedah pasien, derajat hipertrofi tonsil, jenis dan jumlah opioid yang diberikan intra dan atau pos operasi, serta jenis dan jumlah anestesi lokal yang diberikan. Angka kejadian komplikasi jalan napas yang dilihat dari catatan anestesi, data pada postanesthesia care unit (PACU), atau dari catatan saat berlangsungnya operasi. Semua data tersebut dibuat dalam bentuk diagram. Tiga puluh diagram yang tidak mengindikasikan terjadinya komplikasi jalan napas dipilih secara acak untuk dibandingkan dengan data yang didapat dari petugas catatan medis. Angka kejadian komplikasi dibandingkan dengan uji X2. Variabel seperti umur dan berat badan dibuat rerata dan range serta dites menggunakan uji Wilcoxon. Nilai berbeda bermakna secara statistic jika nilai P kurang dari 0.005.
Interrupted Clinical Trial
Setelah mendapat persetujuan dari institusi dan informed consent , 8 dari 50 anak-anak dengan status fisik ASA I atau II yang dijadwalkan operasi tonsilektomi dipilih secara acak untuk diberikan perlakuan GNB pada kedua tonsil, 5ml per tonsil 0,25% bupivacaine cum epinephrine 1:200.000 (dosis maksimum bupivacaine 1 ml/Kg berat badan). Anestesi diinduksi melalui sungkup dan dipertahankan dengan pemberian halotan, NO, dan oksigen. Opioid, benzodiazepine, dan obat muscle relaxan tidak digunakan. Monitoring standar dilakukan. GNB diberikan saat operasi selesai. Angka kejadian komplikasi, durasi pasien di PACU, dan jumlah opioid yang dibutuhkan telah dicatat. Namun, evaluasi lebih lanjut tidak dapat dilakukan karena penelitian ini dihentikan.
HASIL
Analisa Retrospektif
Diagram 566 pasien dievaluasi. Data demografis pasien terdapat pada tebel 1. Dua puluh enah pasien (4,6%) mederita obstruksi sleep apneu. Hanya 66 pasien yang dinilai derajat hipertrofi tonsilnya sebelum operasi. Distribusi pasien berdasarkan dokter bedah yang menangani terdapat dalam tabel 2. Opioid diberikan saat saat operasi pada 72% pasien, 26.6& diberikan meperidine, 7.2% diberikan morfin, 16.1% diberikan fentanil, dan 22.1% pasien diberikan sufentanil. Seratus empat puluh lima pasien yang diberikan meperidine dan 52 pasien yang diberikan morfin dikirin ke PACU. GNB dilakukan menggunakan 0.25% atau 0.5% bupivacaine pada 380 pasien (67%). Lidokain 1% diinjeksikan submukosa pada 22 pasien. Empat pasien diberikan keduanya.


Tabel 1. Data demografis pasien dengan dan tanpa Glossopharyngeal Nerve Block (GNB)

Tanpa GNB
Dengan GNB
Nilai P




Jumlah sampel
185
380

Rerata umur (tahun)
10
10
0.39
Range umur (tahun)
1-74
1-49

Rerata berat badan (kg)
42
36
0.31
Range berat badan (kg)
5-141
10-146

Derajat hipertrofi tonsil



1
2
1

2
8
8

3
28
10

4
6
3

Tidak teridentifikasi

Obstruksi sleep apneu
336

22 (5.8%)
164

4 (2.2%)


0.052

            Angka kejadian komplikasi terkait dengan GNB terdapat dalam tabel 3. Perbandingan demografi pasien yang mengalami komplikasi dengan yang tidak mengalami komplikasi terdapat dalam tabel 4. Disamping tiga pasien yang memerlukan perawatan di ICU.  Angka keseluruhan komplikasi berkisar pada 3,2%. Angka komplikasi pada grup non-blocked 1%, dibandingkan dengan 4,2% pada grup GNB (P = 0.046). Komplikasi pada sitem pernafasan terjadi 25% pada anak usia ≤3 tahun yang diinjeksi bupivacaine. Sedangkan komplikasi sistem pernafasan yang terjadi pada anak usia yang lebih tua yang dilakukan GNB  pada kisaran frekuensi yang wajar yaitu 4%.
Interrupted clinical trial result
Setelah merandom delapan pasien, dua dari empat anak dipilih secara acak untuk menerima GNB dengan bupivacaine mengalami  gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa. Oleh karena itu penelitian dihentikan. Tiga ahli bedah yang berbeda mendaftarkan pasien untuk penelitian; dua kasus dengan gangguan jalan nafas berat dilakukan oleh ahli bedah yang berbeda.
Kasus 1
Pasien pertama laki-laki usia 5 tahun, 19 kg, tanpa keluhan utama kecuali otitis media persisten serosa dan tonsillitis rekuren. Dia tidak memiliki riwayat obstructive sleep apnea. Setelah tidak mengalami banyak anestesi dengan halothane dan oxygen, trachea di intubasi. Bilateral myringotomy tube dimasukan, dan tonsilektomi dengan adenidektomi dilakukan dengan teknik a cautery dissection. Operasi berlangsung 30 menit. Pada akhir operasi, 5 ml of a 0,25% bupivacaine with epinephrine 1:200.000 solution diinjeksikan pada tiap lateral pharyngeal space menggunakan 22-gauge spinal needle setelah aspirasi darah ditemukan negatif. Ketika pasien sadar intubasi trachea dilepas. Pertukaran udara dinilai adekuat, dan pasien dipindahkan ke transport stretcher dan diposisikan pada posisi lateral. Selama dipindahkan ke PACU, terdapat stridor saat inspirasi. Hal ini ditangani dengan pemberian 100% oxygen. Pasien terjaga dan dapat merespon perintah namun stridor terus berlanjut  dan dyspnea menjadi semakin berat meskipun diberi 100% oxygen. Saturasi oksi-hemoglobin antara 88% hingga 92%. Auskultasi bilateral menunjukkan suara nafas yang sama. Diagnosis banding dari dyspnea meliputi hematoma faringeal, pembengkakan mukosa, atau obstruksi jalan nafas karena bekuan darah. Pasien kempali ke meja operasi  dan dengan cepat diinduksi anestesi  menggunakan sodium thiopental, 75 mg, dan succinylcoline, 30 mg, monitoring standar dilakukan. Setelah diinduksi dan direlaksasi, pasien dengan mudah diventilasi  menggunakan sungkup. Jalan nafas dinilai normal selama reintubasi. Tachydysritmia kompleks muncul pada monitor pemantau jantung. PaO2 135 mmHg, PaCO2 42 mmHg, pHa 7.12, konsentrasi bikarbonat 14.3 mEq, dan sempat turun hingga 13.6 mEq. Lidocaine, 2ml/kg, dan Sodium bicarbonate, 0.5 mEq/kg, diberikan intravena. The tachydysritmia  diketahui terbatas pada supraventrikular tachydysritmia dengan elevasi segmen ST.
            Pemeriksaan dengan pembedahan pada faring dan trakheoskopi gagal menemukan etiologi terjadinya dispnea; akan tetapi  sekresi cairan sedikit berwarna darah yang konsisten dan udem pulmo ditemukan. Radiologi torak pasca operasi tampak ada konsolidasi lobus paru kanan atas dan udem pulmo. Data echocardiogram yang diperoleh dari PACU menunjukkan hipokinesis beserta regurgitasi katup mitral.
            Pasien dipindah ke ICU. Intubasi dilepas setelah 2 jam dan tidak terdapat respiratory distress. Tachydysritmia tertangani setelah 3 – 4 jam. Echocardiogram diulang dan didapatkan normal pascaoperasi. Pasien keluar dari rumah sakit setelah 5 hari dan tidak memiliki kelainan jantung yang lebih lanjut.
Kasus 2
Pasien perempuan usia 5 tahun, 17 kg dengan riwayat signifikan untuk satu episode reactive airway disease dan mengorok. Ibunya melaporkan beberapa kali dia seperti menahan nafas dan terengah-engah ketika dia tidur, sugestif untuk obstructive sleep apnea. Setelah tidak banyak mendapat induksi anestesi menggunakan halothane pada nitrous oxide and oxygen, trachea diintubasi. Dipasang pipa myringotomi secara bilateral dan tonsilectomy dengan adenoidectomy dikerjakan dengan teknik a cautery dissection. Operasi berlangsung selama 45 menit. Setelah menyelesaikan operasi, 5 mL per tonsl 0.25% bupivacaine with epinephrine, 1:200.000, diinjeksi secara bilateral.
            Setelah pasien terbangun dari anestesi, intubasi dilepas, dan dipindahan ke PACU. Ketika sampai di PACU, dia menjadi teragitasi berat dan terlihat obstruksi jalan nafas atas. Hal ini dikelola dengan diberikan 100% oxygen,
            Pasien sadar dari anestesi dengan trakea diekstubasi dan telah dipindahkan ke PACU. Pada saat kedatangan di PACU, pasien menjadi sangat gelisah dan tercatat mengalami obstruksi jalan napas bagian atas. Kondisi obstruksi ini ditangani dengan pemberian 100% oksigen, manuver jaw thrust, dan pemberian tekanan positif. Meperidine 12 mg juga diberikan intravena (IV) untuk agitasi yang berkaitkan dengan nyeri. Obstruksi komplit jalan napas bagian atas pun terjadi dan tidak membaik dengan pemasangan jalan napas melalui mulut atau dengan jaw thrust. Upaya memberikan ventilasi kepada pasien dengan bag dan mask tidak berhasil. SPO2 menurun drastis hingga 47%. Pasien secara darurat diintubasi ulang setelah pemberian 100 mg thiopental IV. Keadaan/penampilan plika vokalis tidak tercatat. Setelah intubasi ulang, timbul busa berlimpah dengan sekret berwarna pink telihat pada endotracheal tube.
            Pada radiografi dada didapatkan diagnosis edema paru-paru. Hasil echocardiogram yang diperoleh saat di PACU terlihat normal. Pasien ditangani dengan ventilasi tekanan positif, sedatif, dan diuretik dan menciptakan suatu pemulihan penting, memberi kemungkinan untuk ekstubasi 16 jam kemudian.
Diskusi
            Anestesi lokal telah digunakan lebih dari 100 tahun untuk membantu proses tonsilektomi pada dewasa dan telah dianjurkan sebagai alternatif anestesi umum untuk remaja dan dewasa sehat yang menjalani tonsilektomi (3) dan sebagai tambahan anestesi umum untuk analgesi postsurgical (9). Anestesi lokal untuk untuk tonsilektomi termasuk GNB, dimana, dalam hubungannya dengan blok nervus laryngeus superior, telah dianjurkan untuk membantu itubasi serat optik dan bronkoskopi pada pasien sadar (10,11). Komplikasi anestesi lokal dalam pelaksanaan tonsilektomi belum menjalani studi sistematik pada populasi pasien secara luas. Review literatur mengungkapkan beberapa laporan ketidasengajaan blok vagal (13,14), paralisis nervus rekuren (15-17), dan paralisis nervus hipoglossus (18), dan juga dispnea dengan etiologi yang tidak diketahui, menyebabkan kematian perioperatif (19).
            Richardson (20) melaporkan seorang wanita sehat berumur 44 tahun dengan adduksi  bilateral plika vocalis berhubungan dengan dyspnea dan stridor setelah pemberian 1,5% monocaine dalam jumlah yang tak dientukan untuk tonsilektomi. Teknik injeksi tidak dijabarkan. Pasien ditangani secara konservatif, dan gejala dari pasien diselesaikan setelah kurang lebih satu jam.
            Harlow (20) melaporkan dua kasus edema paru-paru setelah tonsilektomi dengan anestesi lokal sebaliknya pada pria sehat. Dyspnea terjadi pada satu pasien 15-20 menit setalah injeksi novocaine dengan epinefrin. Dyspnea diikuti oleh perkembangan edema paru-paru, yang terselesaikan setelah empat jam, seperti yang tejadi pada Kasus 1. Pada pasien kedua terjadi dyspnea dengan edema paru-paru empat jam post operatif. Sayangnya, kebanyakan laporan-laporan menyediakan informasi yang tidak cukup untuk menentukan etiologi komplikasi yang telah dilaporkan.
            Pada analisis diagram retrospektif kita, UAO tercatat pada 9 dari 16 pasien yang mengalami komplikasi setelah bupivacaine GNB. Pada lima pasien, obstruksi berhubungan dengan depresi pernapasan atau hypoxemia, yang membutuhkan naloxone reversal. Dua pasien dalam analisis retrospektif membutuhkan reintubasi. Penyumbatan jalan napas yang pertama tidak responsif terhadap jaw thrust dan pembuatan jalan napas melalui nasal atau oral dan, berikutnya untuk reintubasi, mengakibatkan edema paru-paru post obstruktif. Yang kedua diaspirasikan sebagai upaya untuk mengelola UAO dan diperlukan reintubasi. Terdapat stridor hanya pada tiga kasus dan dikelola konservatif dengan oksigen dan dengan pemberian nebulasi rasemic epinefrin dalam dua (in two).
            Analisis retrospektif tidak sempurna dikarenakan ketidakmampuan untuk mengontrol variabel-variabel klinik. Terdapat variasi yang lebar pada teknik anestesi, konsenterasi, dan jumlah anestesi lokal dan usia pasien. Sebagai tambahan, seleksi bias dapat menyebabkan perbedaan atau keadaan yang tidak seimbang antar grup, yang dapat menimbulkan kesimpulan yang salah. Anak-anak ≤ 3 tahun memiliki insiden komplikasi tinggi yang cukup signifikan dibandingkan dengan semua kategori umur. Bagaimanapun, anak-anak yang membutuhkan tonsilektomi mungkin memiliki insiden komplikasi saluran napas yang tidak berhubungan dengan GNB lebih tinggi daripada pasien-pasien yang lebih tua. Terlalu sedikit anak-anak yang tersedia untuk perbandingan pada nonblocked grup untuk menyediakan data yang cukup saat ini. Kurangnya kontrol dan kemungkinan seleksi yang bias membuat hal tersebut menjadi tidak mugkin untuk menghubungkan GNB dan komplikasi saluran napas secara meyakinkan. Karenanya, uji coba klinik secara random dilaksanakan.
            Pada uji coba klinik dan analisis retrospektif, UAO adalah komplikasi terbanyak setelah dilakukan GNB. Ada dua mekanisme yang dapat menyebabkan UAO. Pertama, konsenterasi dan volume bupivacaine yang digunakan mungkin telah cukup untuk memblok proksimal nervus vagus merambah nervus rekuren laryngeus. Spatium pharyngeal lateralis adalah tempat potensial penyebaran dari basis cranii hingga setinggi hyoid (lihat gambar 2). Dindin belakang spatium dibentuk oleh selubung karotid (carotid sheath) dengan nervus glossopharyngeal nervus vagus, dan nervus acessorius. Tidak ada struktur yang membatasi penyebaran bebas anestesi lokal dalam ruangan ini. Konsenterasi dan volume lokal anestesi, seiring dengan efek posisional menentukan distribusi dan kepadatan blokade saraf yang dihasilkan. Posisi Trandelenburg, walaupun jarang digunakan untuk tonsilektomi yang dilakukan dengan anestesi lokal, memfasilitasi lebih lanjut penyebaran anestesi lokal. Blok partial bilateral nervus rekuren laryngeus menghasilkan adduksi plika vocalis dengan dysspnea dan stridor. Dalam setting ini, pemberian succhinylcholine menghasilkan relaksasi otot-otot adduktor, yang memudahkan ventilasi dan menormalkan kondisi laring saat intubasi. Blok bilateral nervus rekuren laryngeus komplit menjadikan plika vokalis pada posisi cadaver. Hal ini dapat menyebabkan dyspnea meskipun lumen saluran napas adekuat deisebakan kehilangan sensasi pada saluran napas. Usaha inspirasi yang kuat kemudian dapat menyebabkan adduksi plika vocalis dengan peningkatan UAO. Lebih lanjut, Liistro et al. (22) menunjukkan bahwa UAO dapat mengikuti anestesi topikal luas saluran napas atas diakibatkan reflek regulasi kaliber saluran napas. Ventilasi akan jadi mudah setelah induksi anestesia, dan plika vokalis akan tampak normal saat intubasi. Jarak antara hyoid dan foramen jugularis yang relatif pendek menjadikan predisposisi komplikasi ini terbanyak pada anak-anak dan pasien dengan leher pendek.
            UAO dapat juga sebagai hasil dari blok bilateral nervus hypoglossus yang tidak sengaja. Nervus hypoglossus terletak dekat nervus glossopharyngeal di spatium pharyngeal lateralis. Paralisis hipoglossus menyebabkan kehilangan fungsi motorik lidah dan otot-otot faring atas dan ketidakmampuan menjulurkan lidah. Blok bilateral hypoglossus mengakibatkan UAO yang mengancam jiwa dan tak dapat diselesaikan dengan pemasukan alat bantu jalan napas via oral maupun nasal pada pasien sadar (23).
            Hal ini penting bahwa komplikasi cenderung terjadi dalam perjalanan ke atau baru saja tiba di PACU pada analisis retrospektif dan uji coba klinik. Ini sesuai dengan awal diantisipasi blok saraf setelah injeksi bupivacaine. Derajat variabel block bilateral nervus rekuren laryngeus atau blok nervus hipoglossus akan menjelaskan presentasi klinis yang terlihat di kedua bagian penelitian. Terjadinya stridor dalam Kasus 1 menunjukkan sebuah block parsial atau komplit dari bilateral nervus rekuren laryngeus; bagaimana pun, blok nervus rekuren laryngeus atau nervus hypoglossus dapat menyebabkan sumbatan seperti yang terlihat pada Kasus 2.
            Edema paru-paru adalah komplikasi yang diketahui setelah terjadi UAO. Ini terjadi di kedua kasus dan pada satu pasien dalam analisis retrospektif.  Tekanan negatif intrathorakal yang berhubungan dengan sumbatan jalan napas meningkatkan gradien tekanan hidrostatik transvaskular melewai kapiler paru-paru dan mengakibatkan edema paru-paru (24). Fungsi jantung dapat mengalami gangguan selama tekanan negatif intrathorakal yang berkelanjutan, dengan hasil peningkatan tekanan mikrovskuler pulmonary dan bronchiolar, menghasilkan pembentukan edema (25,26). Status hyperadrenergic yang berhubungan dengan peningkatan after  load ventrikel kiri, seperti yang terjadi setelah trauma kepala akut, berhubungan dengan edema paru-paru (27). Penatalaksanaan post obstruktif edema paru-paru terdiri dari pembatasan cairan, diuretik, dan ventilasi tekanan positif.
            Blok bersamaan nervus glosspharyngeal dan nervus vagus mengasilkan hipertensi dan takikardia sekunder akibat baroreceptor deafferentation (28-30). Terjadinya takikardia dan hipertensi pada Kasus 1 menunjukkan blok bersamaan glosspharyngeal dan vagal. Penurunan fungsi jantung dapat disebabkan periode berlarut-larut UAO berat disertai dengan peningkatan after load ventrikel kiri dan ketegangan dinding dengan penurunan aliran darah subendocardial, seperti yang ditunjukkan Robotham et al. (25).
            Pada analisis retrospektif, UAO sering dihubungkan dengan depresi pernapasan setelah dosis lazim analgetik opiate. Studi pada binatang, bilateral transeksi nervus glossopharyngeal menghasilkan kehilangan respon hipoxia (31,32) dan penggandaan latensi dengan atenuasi kemiringan kurva respon pernapasan setelah tantangan hipercarbic (33). Pada manusia, kehilangan responsif hypoxia telah dilaporkan setelah disseksi leher bilateral (34). Volume besar dan konsenterasi tinggi anestesi lokal digunakan untuk GNB pada pasien yang menjalani tonsilektomi dan posisi Trendelenburg memberi kecenderungan kepada pasien ntuk terkena efek samping setelah GNB untuk tonsilektomi. Jarak hyoid dan foramen jugularis yang relatif pendek dan faktor-faktor pribadi pasien seperti pasien yang lebih muda, atau riwayat gejala obstruksi jalan napas pada pasien yang membutuhkan tonsilektomi lebih mungkin terkena efek samping setelah GNB untuk tonsilektomi. Studi berikutnya harus dapat menentukan prevalensi dan kehilangan responsif hyopoxia yang potensial signifikan ketika GNB digunakan untuk intubasi, endoskopi, atau anestesi post surgical.
            Kesimpulannya, GNB setelah tonsilektomi berhubungan dengan UAO yang dapat mengancam jiwa dan takikardia dengan hipertensi sekunder blok saraf vagus atau nervus hypoglossus secara tidak sengaja, yang terletak dekat nervus glossopharyngeus.

Gambar 2. Lateral Pahrungeal Space (LPS) . LPS terdiri dari jaringan ikat longgar tanpa lembaran jaringan, yang membatasi penyebaran larutan yang diinjeksikan. Tingkat blok saraf yang dicapai dengan injeksi anestesi lokal pada LPS ditentukan volume dan konsenterasi anestesi lokal yang digunakan dan juga oleh ukuran LPS dan posisi pasien.
Table 3. komplikasi posttonsilektomi pada pasien denganblok nervus glossopharyngeal (Retrospektif Data)

Pasien

Komplikasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Total
Obstruksi
-
+
+
+
+
-
+
+
-
-
-
+
+
+
-
-
9
stridor
-
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
+
3
Depresi pernapasan
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
-
+
-
-
-
4
Saturasi O2 <92%
-
-
-
-
+
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
-
5
Edema paru
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
Aspirasi
-
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
Reintubasi
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
--
-
-
2
ICU admit tak terencana
-
+
+
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Total
1
4
4
2
2
1
1
4
1
2
1
1
2
1
1
1
29

Tabel 4. Perbandingan demografi retrospektif pasien dengan dan tanpa komplikasi pernapasan setelah tosilektomi

Komplikasi Pernapasan

yes
no
P value
Besar sampel
18
548

Median usia (th)
5
10
0,04
Rentang usia (th)
1-70
1-74

Berat (kg)
18
39
<0,01
Diagnosis obstruktif sleep apnea
2 (11%)
24 (4%)
0,18